Minggu, 02 September 2012

Polemik Ekonomi Syari'ah



Isyarat Eksistensi PA di mulai tahun 2006 yang dinilai paling revolusioner, dimana telah mendapat pengakuan dalam hal pelimpahan kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Ekonomi Syari’ah.
Keraguan orang terhadap kompetensi dan kapabilitas sumber daya hakim-hakim di Pengadilan Agama dalam memutus perkara Ekonomi Syari’ah, karena selama ini mereka hanya menyelesaikan perkara yang dapat dikatakan jauh dari Anasir “bisnis” dan “financial”.
Kewenangan PA dalam Ekonomi Syari’ah meliputi :
(penjelasan angka 37 pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 perubahan kedua atas UU No. 7/ 1989):
1.    Bank Syari’ah
2.    Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
3.    Asuransi Syari’ah
4.    Reasuransi Syari’ah
5.    Reksadana Syari’ah
6.    Obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah
7.    Sekuritas Syari’ah
8.    Pembiayaan Syari’ah
9.    Pegadaian Syari’ah
10.  Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah
11.  Bisnis Syari’ah
Diperjelas dalam pernyataan, angka 38 pasal 50 ayat 3 menyatakan:
1.   Kewenangan memutus sengketa mengenai sah tidaknya akad yang diperjanjikan oleh lembaga ekonomi syariah (misalnya perbankan) dengan nasabah;
2.   Kewenangan memutus sengketa mengenai hak milik dari barang atau aktiva yang dijadikan jaminan oleh salah satu pihak dalam perjanjian atau akad;
3.   Kewenangan memutus sengketa keperdataan lainnya dalam lapangan ekonomi syariah.
Patut diperhatikan di sini adalah kewenangan sebagaimana disebut pada angka tiga, yaitu “sengketa keperdataan lainnya”. Baik dalam pasal 49 maupun penjelasan pada angka 38 pasal 50 tersebut hanya menjelaskan secara eksplisit mengenai sengketa keperdataan lainnya yang menjadi kewenangan pengadilan agama. Meskipun dalam kutipan penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa sepanjang menyangkut subjek yang bersengketa sebagai domain atau kewenangan dalam pengadilan agama, maka pengadilan agama berwenang memutusnya tidak serta merta menjawab polemik mengenai bentuk sengketa seperti apa yang dimaksud.
Sebagai contoh misalnya, apakah pengadilan agama berwenang dalam memutus perkara eksekusi hak tanggungan maupun fidusia jika ternyata nasabah (debitur) tidak dapat melunasi kreditnya? Ketentuan mengenai hak tanggungan dan fidusia sepanjangan pengetahuan penulis merupakan domain dari pengadilan negeri. Apakah kemudian dapat kita tafsirkan secara lex specialis dalam perkara ekonomi syariah? Kalaupun iya hal ini masih menimbulkan sejumlah perdebatan, terutama mekanisme beracaranya, karena bagaimanapun, kita memahami bahwa meskipun hukum acara yang berlaku dalam pengadilan negeri berlaku pula dalam lingkungan peradilan agaman sepanjang diatur secara khusus, tidak serta merta dapat diterapkan sepenuhnya dalam perkara ekonomi syariah. Karena sekali lagi, ini adalah perkara yang khusus, berbeda dari perkara niaga pada umumnya, baik dalam tataran hukum materil maupun formilnya. 
Dari hasil diskusi dengan beberapa advokat penulis mengetahui bahwa perkara-perkara ekonomi syariah yang didaftar ke pengadilan negeri diplot dalam tajuk “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)” yang dalam pemahaman hukumnya, secara umum, merupakan domain dari pengadilan negeri. Konstruksi berpikir sebagian yuris mungkin demikian dan agaknya memang menjadi semacam “konsensus” bahwa meskipun lapangannya adalah ekonomi syariah, tetapi karena tajuk perkaranya “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)”, maka pengadilan negeri lah yang dipandang berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya. 
Konsensus sebagaimana dimaksud mungkin akan terus lestari hingga ada kejelasan, baik secara yuridis maupun sosiologis mengenai kewenangan pengadilan agama dalam sengketa keperdataan lainnya dalam lapangan ekonomi syariah. Bagi penulis, menafsirkan penjelasan angka 38 tersebut perlu dilakukan tidak hanya pada wilayah penafsiran tematik atau gramatikal semata, melainkan juga pada wilayah penafsiran teleologis.
“Sengketa keperdataan lainnya” dalam penjelasan tersebut dapat dipahami secara gramatikal. Kata “lainnya” berarti semua sengketa keperdataan selain sengketa hak milik dalam bidang ekonomi syariah, termasuk di dalamnya hak tanggungan, fidusia, wanprestasi, PMH, hingga pembatalan perjanjian menjadi domain peradilan agama. Bahwa karena ekonomi syariah merupakan subjek (domain) peradilan agama, maka sengketa-sengketa yang berkaitan di dalamnya menjadi subjek peradilan agama, di luar dari hal tersebut menjadi subjek dari peradilan umum.  
Jika diamati secara seksama, dapat kita ketahui bahwa redaksi “sengketa keperdataan lainnya” sebagai kewenangan peradilan agama dimaksudkan sebagai upaya penyederhanaan proses peradilan sekaligus upaya menciptakan efisiensi dan efektifitas proses beracara yang diproyeksi dalam terciptanya putusan yang benar-benar merujuk pada tiga tujuan utama hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Memang diakui bahwa tidak ada satupun undang-undang yang menyatakan bahwa peradilan agama berhak menyelesaikan sengketa hak milik maupun sengketa keperdataan lainnya, tetapi bila menafsirkan teks tersebut secara ekstensif, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa integrasi “sengketa keperdataan lainnya” merupakan jaminan sekaligus upaya menciptakan peradilan yang sederhana, cepat , dan biaya ringan.
Diskursus mengenai putusan pengadilan yang berkembang selama ini terutama juga menyoal tentang unifikasi (penyatuan, penyeragaman) putusan mengenai suatu perkara tertentu. Putusan pengadilan dalam perkara ekonomi syariah perlu diseragamkan untuk menghindari adanya disparitas putusan pada suatu perkara yang sejenis sekaligus menghindari ambiguitas, baik dalam pemahaman maupun pelaksanaan suatu putusan. Dapat dibayangkan, jika dalam suatu putusan pengadilan agama yang mengabulkan gugatan ekonomi syariah (misalnya perbankan) yang mengabulkan gugatan penggugat yang salah satu amarnya tergugat (debitur) diwajibkan melunasi kreditnya kepada bank dengan melelang aktiva yang dijaminkan, sementar dalam putusan lain (Pengadilan Negeri) mengenai sengketa hak milik, tergugat (debitur) dikalahkan oleh penggugat (pihak ketiga) dalam sengketa hak milik dimaksud. Jika demikian, maka akan sulit untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan agama tersebut. Inilah sesungguhnya jiwa dari ketentuan yang disebutkan sebelumnya.

Makassar, 03 September 2012
Husnul Maarif Calon Hakim Pengadilan Agama Makassar







1 komentar: