Isyarat
Eksistensi PA di mulai tahun 2006 yang dinilai paling revolusioner, dimana
telah mendapat pengakuan dalam hal pelimpahan kewenangan memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara Ekonomi Syari’ah.
Keraguan
orang terhadap kompetensi dan kapabilitas sumber daya hakim-hakim di Pengadilan
Agama dalam memutus perkara Ekonomi Syari’ah, karena selama ini mereka hanya
menyelesaikan perkara yang dapat dikatakan jauh dari Anasir “bisnis” dan
“financial”.
Kewenangan PA dalam
Ekonomi Syari’ah meliputi :
(penjelasan angka 37 pasal
49 UU No. 3 Tahun 2006 perubahan kedua atas UU No. 7/ 1989):
1.
Bank Syari’ah
2.
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
3.
Asuransi Syari’ah
4.
Reasuransi Syari’ah
5.
Reksadana Syari’ah
6.
Obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah
7.
Sekuritas Syari’ah
8.
Pembiayaan Syari’ah
9.
Pegadaian Syari’ah
10.
Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah
11.
Bisnis Syari’ah
Diperjelas dalam
pernyataan, angka 38 pasal 50 ayat 3 menyatakan:
1. Kewenangan memutus sengketa mengenai sah tidaknya
akad yang diperjanjikan oleh lembaga ekonomi syariah (misalnya perbankan)
dengan nasabah;
2. Kewenangan memutus sengketa mengenai hak milik dari
barang atau aktiva yang dijadikan jaminan oleh salah satu pihak dalam
perjanjian atau akad;
3. Kewenangan memutus sengketa keperdataan lainnya
dalam lapangan ekonomi syariah.
Patut diperhatikan di sini adalah kewenangan sebagaimana disebut
pada angka tiga, yaitu “sengketa keperdataan lainnya”. Baik dalam pasal 49
maupun penjelasan pada angka 38 pasal 50 tersebut hanya menjelaskan secara
eksplisit mengenai sengketa keperdataan lainnya yang menjadi kewenangan
pengadilan agama. Meskipun dalam kutipan penjelasan selanjutnya dijelaskan
bahwa sepanjang menyangkut subjek yang bersengketa sebagai domain atau
kewenangan dalam pengadilan agama, maka pengadilan agama berwenang memutusnya
tidak serta merta menjawab polemik mengenai bentuk sengketa seperti apa yang
dimaksud.
Sebagai contoh misalnya, apakah pengadilan agama berwenang dalam
memutus perkara eksekusi hak tanggungan maupun fidusia jika ternyata nasabah
(debitur) tidak dapat melunasi kreditnya? Ketentuan mengenai hak tanggungan dan
fidusia sepanjangan pengetahuan penulis merupakan domain dari pengadilan
negeri. Apakah kemudian dapat kita tafsirkan secara lex specialis dalam
perkara ekonomi syariah? Kalaupun iya hal ini masih menimbulkan sejumlah
perdebatan, terutama mekanisme beracaranya, karena bagaimanapun, kita memahami
bahwa meskipun hukum acara yang berlaku dalam pengadilan negeri berlaku pula
dalam lingkungan peradilan agaman sepanjang diatur secara khusus, tidak serta
merta dapat diterapkan sepenuhnya dalam perkara ekonomi syariah. Karena sekali
lagi, ini adalah perkara yang khusus, berbeda dari perkara niaga pada umumnya,
baik dalam tataran hukum materil maupun formilnya.
Dari hasil diskusi dengan beberapa advokat penulis mengetahui
bahwa perkara-perkara ekonomi syariah yang didaftar ke pengadilan negeri diplot
dalam tajuk “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)”
yang dalam pemahaman hukumnya, secara umum, merupakan domain dari pengadilan
negeri. Konstruksi berpikir sebagian yuris mungkin demikian dan agaknya memang
menjadi semacam “konsensus” bahwa meskipun lapangannya adalah ekonomi syariah,
tetapi karena tajuk perkaranya “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)”,
maka pengadilan negeri lah yang dipandang berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikannya.
Konsensus sebagaimana dimaksud mungkin akan terus lestari hingga
ada kejelasan, baik secara yuridis maupun sosiologis mengenai kewenangan
pengadilan agama dalam sengketa keperdataan lainnya dalam lapangan ekonomi
syariah. Bagi penulis, menafsirkan penjelasan angka 38 tersebut perlu dilakukan
tidak hanya pada wilayah penafsiran tematik atau gramatikal semata, melainkan
juga pada wilayah penafsiran teleologis.
“Sengketa keperdataan lainnya” dalam penjelasan tersebut dapat
dipahami secara gramatikal. Kata “lainnya” berarti semua sengketa keperdataan
selain sengketa hak milik dalam bidang ekonomi syariah, termasuk di dalamnya
hak tanggungan, fidusia, wanprestasi, PMH, hingga pembatalan perjanjian menjadi
domain peradilan agama. Bahwa karena ekonomi syariah merupakan subjek (domain)
peradilan agama, maka sengketa-sengketa yang berkaitan di dalamnya menjadi
subjek peradilan agama, di luar dari hal tersebut menjadi subjek dari peradilan
umum.
Jika diamati secara seksama, dapat kita ketahui bahwa redaksi
“sengketa keperdataan lainnya” sebagai kewenangan peradilan agama dimaksudkan
sebagai upaya penyederhanaan proses peradilan sekaligus upaya menciptakan
efisiensi dan efektifitas proses beracara yang diproyeksi dalam terciptanya
putusan yang benar-benar merujuk pada tiga tujuan utama hukum, yaitu keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Memang diakui bahwa tidak ada satupun undang-undang
yang menyatakan bahwa peradilan agama berhak menyelesaikan sengketa hak milik
maupun sengketa keperdataan lainnya, tetapi bila menafsirkan teks tersebut
secara ekstensif, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa integrasi “sengketa
keperdataan lainnya” merupakan jaminan sekaligus upaya menciptakan peradilan
yang sederhana, cepat , dan biaya ringan.
Diskursus mengenai putusan
pengadilan yang berkembang selama ini terutama juga menyoal tentang unifikasi
(penyatuan, penyeragaman) putusan mengenai suatu perkara tertentu. Putusan
pengadilan dalam perkara ekonomi syariah perlu diseragamkan untuk menghindari
adanya disparitas putusan pada suatu perkara yang sejenis sekaligus menghindari
ambiguitas, baik dalam pemahaman maupun pelaksanaan suatu putusan. Dapat
dibayangkan, jika dalam suatu putusan pengadilan agama yang mengabulkan gugatan
ekonomi syariah (misalnya perbankan) yang mengabulkan gugatan penggugat yang
salah satu amarnya tergugat (debitur) diwajibkan melunasi kreditnya kepada bank
dengan melelang aktiva yang dijaminkan, sementar dalam putusan lain (Pengadilan
Negeri) mengenai sengketa hak milik, tergugat (debitur) dikalahkan oleh
penggugat (pihak ketiga) dalam sengketa hak milik dimaksud. Jika demikian, maka
akan sulit untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan agama
tersebut. Inilah sesungguhnya jiwa dari ketentuan yang disebutkan sebelumnya.
Makassar, 03 September
2012
Husnul Maarif Calon Hakim
Pengadilan Agama Makassar
setuju.......
BalasHapus