Minggu, 02 September 2012

Peran Yurisprudensi Dalan Pembangunan Hukum Nasional




         Pengadilan pada saat mengadili perkara yang dihadapi harus berlandaskan hukum dan keadilan.[1] Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mengawasi kesalahan  penerapan hukum dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara dalam memutus perkara melalui upaya hukum kasasi yang diajukan oleh para pihak.[2] Sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dapat bersumber dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bentuk hukum yang pertama adalah hukum berupa peraturan perundang-undangan sedangkan bentuk hukum kedua adalah hukum yang dianut oleh masyarakat yang lazim disebut dengan hukum adat.[3] Warga Negara Indonesia yang beragama Islam menganut sebagian hukum Islam khususnya hukum perkawinan, kewarisan, wakaf, shadaqah dan ekonomi Islam oleh karena itu walaupun hukum-hukum Islam tersebut belum diundangkan merupakan hukum jenis kedua yaitu hukum yang tidak tertulis.[4]
        Di Inggris yang menganut sitem common law, hakim pengadilan pada saat  memutus perkara yang dihadapi tidak merujuk undang-undang sebagai sumber hukum  untuk diterapkan. Putusan mereka didasarkan pada rasa keadilan dan sikap untuk berlaku adil  yang mereka miliki (sense of justice and fair dealing). Pada akhirnya putusan-putusan hakim yang terdahulu menjadi rujukan bagi hakim kemudian dalam menyelesaikan kasus-kasus  yang dihadapinya.  Jika substansi hukum yang dihadapi hakim belakangan sama dengan kasus-kasus yang sudah diputus sebelumnya maka hakim yang belakangan tersebut akan memutus kasus tersebut sama dengan kasus yang sebelumnya. Oleh karena itu hakim di negara yang menganut sistem common law berfungsi sebagai pencipta hukum (judge made law).  Akan tetapi tidak semua hukum berasal dari putusan hakim, Parlemen sebagai badan legislatif membuat hukum yang berlaku umum yang tidak berkaitan dengan kasus tertentu.  Parlemen membuat undang-undang yang belum dibentuk oleh pengadilan, akan tetapi kadang-kadang membuat undang-undang dengan menghapus  hukum yang diciptakan peradilan sebelumnya yang dianggap sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan (unjust). Lebih lanjut  Parlemen melakukan pengawasan terhadap putusan-putusan hakim melalui  lembaga banding yang ditangani oleh The House of Lords.[5]
         Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, Nabi Muhammad dan para sahabat yang menggantikannya  meninggalkan yusrisprudensi yang biasa disebut sunnah Nabi Muhammad dan sunnah Khulafâu al-Râsyidîn. Putusan Nabi Muhammad tentang wanita yang sudah tiga kali di talak oleh suaminya tidak berhak mendapat nafkah iddah.[6] Demikian halnya Sahabat Zaid bin Tsabit menetapkan waris kalalah jika pewaris meninggal dunia tidak meninggalkan anak dan keturunannya sertt ayah. Berbeda dengan pendapat Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas berpendapat waris kalalah adalah jika pewaris tidak meninggalkan anak dan keturunan saja sehingga saudara dapat mewaris bersama ayah.[7] Banyak lagi contoh-contoh yusrisprudensi Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang diikuti dan dibakukan sebagai norma hukum dalam kitab-kitab fikih.
Merupakan warisan sejarah, Hukum yang berlaku di Indonesia pada awal kemerdekaan terdiri dari hukum adat, Islam dan Barat. Hukum Adat merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia dan merupakan sumber hukum dalam penyelesain kasus-kasus yang timbul ditengah masyarakat adat melalui peradilan adat, yang menurut Van Vollenhoven pada garis besarnya terdapat 19 wilayah hukum adat tersebar di Indonesia.[8] Hukum Islam dianut oleh masyarakat Islam Indonesia sejak tumbuhnya kelompok masyarakat Islam di wilayah Nusantara. Selanjutnya hukum Islam mendapat legitimasi dari penguasa setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Nusantara.[9] Sedangkan hukum barat merupakan hukum yang ditransfer oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan diberlakukan di Indonesia. Hukum barat yang sangat monumental sampai saat ini adalah KUHPerdata dan KUHPidana, KUHDagang dan Hukum Acara Perdata (HIR dan RBG) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang masih dijadikan rujukan oleh lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif.[10]
Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun hukum nasional pasca kemerdekaan terus diupayakan oleh Pemerintah agar Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki hukum nasional yang satu yang sesuai dengan falsafah bangsa dan kehidupan modern. Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dalam pembaruan hukum nasional, menyarankan agar diupayakan unifikasi dan kodifikasi terbatas pada hukum yang tidak menjamah wilayah kehidupan budaya dan spiritual masyarakat. Disamping itu pembangunan hukum nasional diupayakan bermuatan asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum Adat, Islam dan Barat.[11]
Pembangunan hukum Nasional dapat dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutip berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, serta oleh pengadilan berupa putusan pengadilan. Pembangunan hukum melalui badan legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan upaya pembentukan hukum sebagai sarana perubahan sosial (law as a tool of social enginering), sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru[12] maupun oleh pemerintahan masa reformasi saat ini, karena lembaga eksekutif dalam rangka stabilisasi dan percepatan pembangunan membutuhkan kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembangunan hukum yang dilakukan oleh pengadilan merupakan upaya menggali kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat yang dituangkan dalam bentuk putusan. Pada umumnya putusan-putusan pengadilan yang mengangkat hukum yang berlaku ditengah masyarakat berkisar dalam ruang lingkup hukum perdata bukan ruang lingkup hukum publik.
Percepatan pembangunan hukum melalui legislasi lebih dinamis dibandingkan dengan produk hukum melalui litigasi (proses peradilan).[13] Menurut Soetandyo[14] kelambanan pengadilan dalam pembentukan hukum disebabkan dua faktor: Pertama, kemampuan  para hakim yang lemah untuk mengembangkan kedayagunaan hukum dalam masyarakat atas dasar kontigensi[15] yang kreatif; kedua, doktrin dan tradisi yang dianut badan-badan peradilan di Indonesia menciptakan hakim sebagai corong undang-undang yang terikat dengan penerapan pasal-pasal undang-undang dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapinya tanpa ada keinginan untuk mengembangkan kreativitas berpikir sosiologis; ketiga, pendidikan hukum di Indonesia sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa mencoba mendorong mahasiswa juga ke arah cara berfikir induktif dengan menganalisa kasus untuk mengembangkan case laws.[16]
Kritikan para ahli hukum terhadap putusan lembaga peradilan yang lebih mengedepankan aliran legisme perlu direspon oleh hakim dengan melakukan  perubahan cara pikir yang bersifat filosofis dan sosiologis atau sekarang lebih dikenal dengan hukum responsif.[17] Peraturan perundang-undangan sifatnya statis sering tertinggal dengan percepatan perubahan budaya masyarakat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karakter peraturan perundang-undangan yang demikian mengharuskan pengadilan untuk senantiasa  membuat putusan yang bermuatan legal justis, sosial justis dan moral justis (hukum responsif). Oleh karenannya putusan-putusan pengadilan harus didasarkan pada asas-asas hukum yang universal baik yang terkandung dalam hukum adat, hukum Islam maupun hukum barat. Hakim tidak boleh terpaku dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, oleh karenanya jika hakim menemukan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan asas-asas universal  hakim harus melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal undang-undang tersebut sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan universal. Demikian halnya hakim, dalam memutus perkara,  harus mampu menggali asas-asas hukum universal yang hidup ditengah masyarakat agar putusannya memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dalam hal ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja berkomentar, asas-asas hukum universal harus dimantapkan bukan saja dalam produk perundang-undangan akan tetapi juga dalam produk peradilan berupa putusan, khususnya putusan Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang dapat dijadikan rujukan pengadilan-pengadilan di bawahnya.[18] Putusan-putusan pengadilan produk hakim sebagai manusia biasa tidak bisa lepas dari ketidak sempurnaan, oleh karenannya merupakan suatu keniscayaan putusan tersebut terbuka untuk dikritisi oleh para ahli hukum agar kedepan putusan-putusan lembaga peradilan lebih bermuatan hukum yang berasaskan universal,  hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat modern  sekaligus merupakan upaya partisipasi aktif lembaga peradilan dalam pembangunan hukum Nasional.
Pembangunan hukum Nasional tersebut terus berlangsung baik melalui peraturan perundang-undang maupun melalui putusan lembaga peradilan. Pembangunan hukum melalui badan legislatif berlanjut sejak kemerdekaan RI taun 1945, bahkan pada tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ps. 7 ayat (1) dan (4) UU. No. 10/2004, menyebutkan jenis dan hierarki  peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang; c. Peraturan pemerintah; d. Peraturan presiden; e. Peraturan daerah; f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan lainnya dimaksud dalam huruf  (f) termuat dalam pasal 7 ayat (4) UU.No.10 tahun 2004, diantaranya adalah: a. Peraturan menteri (lihat Ps.5 ayat (4) PP.72/2005); b. Peraturan kepala daerah (lihat  Ps. 146 ayat UU.No.32/2004); c. Keputusan kepala daerah (lihat Ps. 146 ayat UU. No.32/2004); d. Peraturan Desa yang dibuat oleh Badan Permusyawarahan Desa (lihat Ps. 3 dan Ps. 35  PP.72/2005); Keputusan Kepala Desa (lihat Ps.26 PP. No.72/2005).
Sedangkan hukum yang tidak tertulis sebagaimana disebutkan diatas adalah hukum adat dan sebagian hukum Islam yang dianut oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu hakim peradilan di Indonesia dalam memutus perkara harus berdasarkan sumber hukum tertulis yakni peraturan perundang-undang yang berlaku, hukum adat, dan hukum Islam yang dianut warga negara Indonesia. Dalam hal, hakim memutus perkara yang sumber hukum tertulisnya sudah jelas (tidak multi tafsir) tidak menimbulkan problem yang rumit, hakim tinggal menerapkan pasal-pasal peraturan perundang-undang yang ada dan jelas tersebut. Akan tetapi ketika peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mengatur atau telah mengatur akan tetapi mengandung multi tafsir maka hakim harus menemukan hukum yang berlaku ditengah masyarakat dan melakukan pefsiran terhadap pasal-pasal  peraturan perundang-undangan yang tidak jelas. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi akan melakukan penilaian atas penemuan hukum dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh keempat lingkungan peradilan judex factie  apakah penemuan hukum yang diterapakan sudah tepat atau sebaliknya belum tepat, serta apakah penafsiran judex factie terhadap pasal perundang-undangan sudah tepat atau tidak. Jika putusan mahkamah Agung tersebut berulang-ulang dari beberpa kasus yang  substansinya sama maka putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan yurisprudensi.
Walaupun lembaga peradilan di Indonesia tidak terikat yurisprudensi akan tetapi peradilan tingkat judex factie akan senantiasa memperhatikan putusan-putusan Mahkamah Agung yang sudah menjadi yurisprudensi, sebab walaupun bagaimana putusan pengadilan judex factie ketika diajukan kasasi oleh para pihak dan didapati oleh Mahkamah Agung putusan tersebut bertentangan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung maka putusan pengadilan judex faktie akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sehingga secara diam-diam lembaga peradilan di Indonesia terikat dengan yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam memutus perkara. Menurut Apeldoorn pengikatan hakim peradilan dinegara yang menganut civil law bukan karena lembaga peradilan tersebut terikat dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi, melainkan yurisprudensi tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku umum, dan kebiasaan yang berlaku umum tersebut dalam teori hukum merupakan sumber hukum.[19]
Sebagai perbandingan, hakim pengadilan tingkat pertama dan banding di Belanda walaupun menganut civil law dalam memutus perkara tidak melulu melihat peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum bahkan mereka lebih intens mempelajari putusan-putusan Mahkamah Agung yang dinamakan Arrest sebagai sumber hukum. Hakim di Indonesia pun sudah menjadi kewajiban untuk menekuni mempelajari putusan-putusan Mahkamah Agung sebagai yurisprudensi disamping peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai sumber hukum dalam menyelasaikan perkara, baik yurisprudensi mengenai hukum formil maupun hukum materil.
Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam hukum Islam yang dapat dijadikan dasar hukum oleh hakim peradilan agama diantaranya perceraian dapat diajukan oleh pihak suami atau istri karena alasan cekcok terus menerus yang sulit untuk dirukunkan kembali walaupun yang menimbulkan percekcokkan rumah tangga tersebut adalah pihak penggugat. Dalam bidang kewarisan  anak angkat dan ahli waris berbeda agama keduanya mendapat bagian minimal sama dengan ahli waris lain atau paling banyak sepertiga bagian sebagai wasiat wajibah. Anak perempuan mewaris seluruh harta warisan dan menghalangi keluarga dalam garis horisontal (saudara pewaris dan/dan atau keturunannya) dan keluarga garis diagonal (paman dan/atau keturunannya) sehingga tidak berhak mewaris. Yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya menghapus kerabat dzawil arham dan menyamakan saudara sekandung, saudara seayah, dan saudara seibu yang dalam fiqih konvensional ketiga golongan saudara tersebut kedudukkannya dibedakan satu sama lain sebagai ahli waris.
Yurisprudensi mahkamah Agung dibidang hukum lainnya baik hukum materil maupun hukum formil dapat dipelajari dalam buku-buku himpunan yurisprudensi Mahkah Agung yang setiap tahun diterbitkan dan dikirimkan keseluruh pengadilan dari empat lingkungan peradilan. Persoalannya adakah kemauan para hakim untuk mempelajari yurisprudensi mahkamah Agung tersebut, semuanya terpulang kepada para hakim yang budiman.
Makassar, 03 September 2012
Husnul Ma’arif Calon Hakim Pengadilan Agama Makassar



[1] Pasal 1 ayat (1) Udang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

[2] Pasal 23 . Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.

[3] Sunaryati Hartono,  Apakah The Rule of Law itu, Bandung, Alumni, 1982, h.95-96.

[4] Ps.49 UU.No.7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU.No.3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.

[5] Encyclopedia Americana, Danbury Connectitut, Glorier, 1995, vol.7, h.394.

[6] Lihat Muslim, Shahih Muslim, 1999:703-707; Nasai, Sunan Nasai, 1977:529, 521-552; Abu Daud, Sunan Abu Daud, Sunan Abu Daud, 1999:531-532; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1977:280; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, 2004:2005; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 2004:743; Imam Malik, al-Muwattha, 2003:362; Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:1366.

[7] Lihat Lihat Ibnu Hibban, Sahîh Ibnu Hibbân, Libanon, 2004, h.1516; Abu Muhammad ‘Abd Allah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-maqdisi al-Dimasyqi al-Hanbali, al-Mughni, 2004, vol.8, h.318;

[8] Soerojo Wignyodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum adat, Jakarta, haji Mas Agung, cet.VII, 1988, h.86.

[9] Hasil penelitian Azyumardi Azra Qadhi-Qadhi yang diangkat oleh Raja-Raja Islam di wilayah Indonesia bukun hanya memutus kasus-kasus perkawinan dan warisan melainkan juga masalah kasus pidana, seperti Sultan Iskandar Tsani di Kesultanan Aceh menghapuskan hukum pidana adat yang tidak sesuai dengan hukum pidana Islam dan di kesultanan Banjar pada akhir Abad ke 18 mendirikan Pengadilan Islam untuk menangani kasus-kasus sengketa perdata. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta, Kencana, edisi refisi, cet II, 2005, H.225 dan 319.

[10] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet.I, 1994, H.80-125.

[11] Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, Alumni, 2002, H.179-198; Lihat pula Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:237-247 dan  Jimly asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya bagi Usaha Pembaharuan KUHPidana Nasional, Jakarta Angkasa, edisi II, 1996, h.188-217.

[12] Soetandjo Wignjosoebroto,1994:245.

[13] Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:245.

[14] Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:244. Pendapat Soetandyo tersebut tidak sepenuhnya benar karena banyak putusan-putusan hakim tidak hanya sekedar corong undang-undang akan tetapi juga mempertibangkan sisi social justice, misalkan putusan Mahkamah Agung dalam kasus waris Islam dimana anak perempuan mewaris seluruh harta kekayaan orang tuanya mengesampingkan ahli waris saudara dengan pertimbangan ditengah masyarakat Indonesia dianut kesadaran hukum dimana ahli waris saudara tidak dapat mewaris jika pewaris mempunyai anak perempuan saja. Sedangkan hukum waris Islam menetapkan anak perempuan tidak dapat mengesampingkan ahli waris saudara. Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 218K/AG/1993   tanggal 26-7-1996.

[15] Yang dimaksud analisa  kontigensi adalah metode untuk mengambil suatu kesimpulan didasarkan pada data yang mempunyai karakter yang sama untuk dianalisa dan diambil kesimpulan sebagai gejala umum . Sumber diambil dari  vai-unisma- malang.blogspot.com/2009 tanggal 16 juni 2009.

[16] Yang dimaksud case Laws adalah yurisprudensi . Lihat Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, USA, West Group, 7th Edition, 1999, h. 207.

[18] Mochtar Kusumaatmadja, 2002:199.

[19] L.J. van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht,  (terj.) Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu Hukum,  Jakarta, Pradnya Paramita, 1975, 171-176.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar