Pengadilan pada saat mengadili perkara yang dihadapi harus
berlandaskan hukum dan keadilan.[1]
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mengawasi kesalahan penerapan hukum dan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh lembaga peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara
dalam memutus perkara melalui upaya hukum kasasi yang diajukan oleh para pihak.[2]
Sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dapat bersumber
dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bentuk hukum yang pertama adalah
hukum berupa peraturan perundang-undangan sedangkan bentuk hukum kedua adalah
hukum yang dianut oleh masyarakat yang lazim disebut dengan hukum adat.[3]
Warga Negara Indonesia yang beragama Islam menganut sebagian hukum Islam
khususnya hukum perkawinan, kewarisan, wakaf, shadaqah dan ekonomi Islam oleh
karena itu walaupun hukum-hukum Islam tersebut belum diundangkan merupakan
hukum jenis kedua yaitu hukum yang tidak tertulis.[4]
Di Inggris yang
menganut sitem common law, hakim pengadilan pada saat memutus perkara yang dihadapi tidak merujuk
undang-undang sebagai sumber hukum untuk
diterapkan. Putusan mereka didasarkan pada rasa keadilan dan sikap untuk
berlaku adil yang mereka miliki (sense
of justice and fair dealing). Pada akhirnya putusan-putusan hakim yang
terdahulu menjadi rujukan bagi hakim kemudian dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang dihadapinya. Jika substansi hukum yang dihadapi hakim
belakangan sama dengan kasus-kasus yang sudah diputus sebelumnya maka hakim
yang belakangan tersebut akan memutus kasus tersebut sama dengan kasus yang
sebelumnya. Oleh karena itu hakim di negara yang menganut sistem common law
berfungsi sebagai pencipta hukum (judge made law). Akan tetapi tidak semua hukum berasal dari
putusan hakim, Parlemen sebagai badan legislatif membuat hukum yang berlaku
umum yang tidak berkaitan dengan kasus tertentu. Parlemen membuat undang-undang yang belum
dibentuk oleh pengadilan, akan tetapi kadang-kadang membuat undang-undang
dengan menghapus hukum yang diciptakan
peradilan sebelumnya yang dianggap sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan
(unjust). Lebih lanjut Parlemen
melakukan pengawasan terhadap putusan-putusan hakim melalui lembaga banding yang ditangani oleh The House
of Lords.[5]
Pada awal
pemerintahan Islam di Madinah, Nabi Muhammad dan para sahabat yang
menggantikannya meninggalkan
yusrisprudensi yang biasa disebut sunnah Nabi Muhammad dan sunnah Khulafâu
al-Râsyidîn. Putusan Nabi Muhammad tentang wanita yang sudah tiga kali di talak
oleh suaminya tidak berhak mendapat nafkah iddah.[6] Demikian halnya Sahabat Zaid bin Tsabit menetapkan waris kalalah
jika pewaris meninggal dunia tidak meninggalkan anak dan keturunannya sertt
ayah. Berbeda dengan pendapat Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas berpendapat waris
kalalah adalah jika pewaris tidak meninggalkan anak dan keturunan saja sehingga
saudara dapat mewaris bersama ayah.[7] Banyak lagi contoh-contoh yusrisprudensi Nabi Muhammad dan para
sahabatnya yang diikuti dan dibakukan sebagai norma hukum dalam kitab-kitab
fikih.
Merupakan warisan sejarah, Hukum yang berlaku di Indonesia pada
awal kemerdekaan terdiri dari hukum adat, Islam dan Barat. Hukum Adat merupakan
hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia dan merupakan sumber hukum
dalam penyelesain kasus-kasus yang timbul ditengah masyarakat adat melalui
peradilan adat, yang menurut Van Vollenhoven pada garis besarnya terdapat 19
wilayah hukum adat tersebar di Indonesia.[8]
Hukum Islam dianut oleh masyarakat Islam Indonesia sejak tumbuhnya kelompok
masyarakat Islam di wilayah Nusantara. Selanjutnya hukum Islam mendapat
legitimasi dari penguasa setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Nusantara.[9]
Sedangkan hukum barat merupakan hukum yang ditransfer oleh Pemerintahan Hindia
Belanda dan diberlakukan di Indonesia. Hukum barat yang sangat monumental
sampai saat ini adalah KUHPerdata dan KUHPidana, KUHDagang dan Hukum Acara
Perdata (HIR dan RBG) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang masih
dijadikan rujukan oleh lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif.[10]
Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun hukum nasional pasca
kemerdekaan terus diupayakan oleh Pemerintah agar Negara kesatuan Republik
Indonesia memiliki hukum nasional yang satu yang sesuai dengan falsafah bangsa
dan kehidupan modern. Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dalam pembaruan hukum
nasional, menyarankan agar diupayakan unifikasi dan kodifikasi terbatas pada
hukum yang tidak menjamah wilayah kehidupan budaya dan spiritual masyarakat.
Disamping itu pembangunan hukum nasional diupayakan bermuatan asas-asas hukum
yang terdapat dalam hukum Adat, Islam dan Barat.[11]
Pembangunan hukum Nasional dapat dilakukan oleh lembaga legislatif
dan eksekutip berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, serta oleh pengadilan
berupa putusan pengadilan. Pembangunan hukum melalui badan legislatif dalam
bentuk peraturan perundang-undangan merupakan upaya pembentukan hukum sebagai
sarana perubahan sosial (law as a tool of social enginering), sebagaimana yang
dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru[12]
maupun oleh pemerintahan masa reformasi saat ini, karena lembaga eksekutif
dalam rangka stabilisasi dan percepatan pembangunan membutuhkan kepastian hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembangunan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan merupakan upaya menggali kesadaran hukum dan rasa
keadilan masyarakat yang dituangkan dalam bentuk putusan. Pada umumnya
putusan-putusan pengadilan yang mengangkat hukum yang berlaku ditengah
masyarakat berkisar dalam ruang lingkup hukum perdata bukan ruang lingkup hukum
publik.
Percepatan pembangunan hukum melalui legislasi lebih dinamis
dibandingkan dengan produk hukum melalui litigasi (proses peradilan).[13]
Menurut Soetandyo[14]
kelambanan pengadilan dalam pembentukan hukum disebabkan dua faktor: Pertama,
kemampuan para hakim yang lemah untuk
mengembangkan kedayagunaan hukum dalam masyarakat atas dasar kontigensi[15]
yang kreatif; kedua, doktrin dan tradisi yang dianut badan-badan
peradilan di Indonesia menciptakan hakim sebagai corong undang-undang yang
terikat dengan penerapan pasal-pasal undang-undang dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang dihadapinya tanpa ada keinginan untuk mengembangkan
kreativitas berpikir sosiologis; ketiga, pendidikan hukum di Indonesia
sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa
mencoba mendorong mahasiswa juga ke arah cara berfikir induktif dengan
menganalisa kasus untuk mengembangkan case laws.[16]
Kritikan para ahli hukum terhadap putusan lembaga peradilan yang
lebih mengedepankan aliran legisme perlu direspon oleh hakim dengan
melakukan perubahan cara pikir yang
bersifat filosofis dan sosiologis atau sekarang lebih dikenal dengan hukum
responsif.[17]
Peraturan perundang-undangan sifatnya statis sering tertinggal dengan
percepatan perubahan budaya masyarakat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Karakter peraturan perundang-undangan yang demikian mengharuskan
pengadilan untuk senantiasa membuat
putusan yang bermuatan legal justis, sosial justis dan moral justis (hukum
responsif). Oleh karenannya putusan-putusan pengadilan harus didasarkan pada
asas-asas hukum yang universal baik yang terkandung dalam hukum adat, hukum
Islam maupun hukum barat. Hakim tidak boleh terpaku dengan pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan, oleh karenanya jika hakim menemukan pasal-pasal
dalam peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan asas-asas
universal hakim harus melakukan
penafsiran terhadap pasal-pasal undang-undang tersebut sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan universal. Demikian halnya hakim, dalam memutus
perkara, harus mampu menggali asas-asas
hukum universal yang hidup ditengah masyarakat agar putusannya memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Dalam hal ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja berkomentar, asas-asas
hukum universal harus dimantapkan bukan saja dalam produk perundang-undangan
akan tetapi juga dalam produk peradilan berupa putusan, khususnya putusan
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang dapat dijadikan rujukan
pengadilan-pengadilan di bawahnya.[18]
Putusan-putusan pengadilan produk hakim sebagai manusia biasa tidak bisa lepas
dari ketidak sempurnaan, oleh karenannya merupakan suatu keniscayaan putusan
tersebut terbuka untuk dikritisi oleh para ahli hukum agar kedepan
putusan-putusan lembaga peradilan lebih bermuatan hukum yang berasaskan
universal, hukum yang dapat memenuhi
rasa keadilan masyarakat modern
sekaligus merupakan upaya partisipasi aktif lembaga peradilan dalam
pembangunan hukum Nasional.
Pembangunan hukum Nasional tersebut terus berlangsung baik melalui
peraturan perundang-undang maupun melalui putusan lembaga peradilan.
Pembangunan hukum melalui badan legislatif berlanjut sejak kemerdekaan RI taun
1945, bahkan pada tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ps. 7 ayat (1) dan
(4) UU. No. 10/2004, menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia adalah: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang; c. Peraturan
pemerintah; d. Peraturan presiden; e. Peraturan daerah; f. Peraturan perundang-undangan
lainnya yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan perundang-undangan lainnya dimaksud dalam huruf (f) termuat dalam pasal 7 ayat (4) UU.No.10
tahun 2004, diantaranya adalah: a. Peraturan menteri (lihat Ps.5 ayat (4)
PP.72/2005); b. Peraturan kepala daerah (lihat
Ps. 146 ayat UU.No.32/2004); c. Keputusan kepala daerah (lihat Ps. 146
ayat UU. No.32/2004); d. Peraturan Desa yang dibuat oleh Badan Permusyawarahan Desa
(lihat Ps. 3 dan Ps. 35 PP.72/2005);
Keputusan Kepala Desa (lihat Ps.26 PP. No.72/2005).
Sedangkan hukum yang tidak tertulis sebagaimana disebutkan diatas
adalah hukum adat dan sebagian hukum Islam yang dianut oleh warga negara
Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu hakim peradilan di Indonesia
dalam memutus perkara harus berdasarkan sumber hukum tertulis yakni peraturan perundang-undang
yang berlaku, hukum adat, dan hukum Islam yang dianut warga negara Indonesia.
Dalam hal, hakim memutus perkara yang sumber hukum tertulisnya sudah jelas
(tidak multi tafsir) tidak menimbulkan problem yang rumit, hakim tinggal
menerapkan pasal-pasal peraturan perundang-undang yang ada dan jelas tersebut.
Akan tetapi ketika peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mengatur
atau telah mengatur akan tetapi mengandung multi tafsir maka hakim harus
menemukan hukum yang berlaku ditengah masyarakat dan melakukan pefsiran
terhadap pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang tidak jelas. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi akan
melakukan penilaian atas penemuan hukum dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh
keempat lingkungan peradilan judex factie apakah penemuan hukum yang diterapakan sudah
tepat atau sebaliknya belum tepat, serta apakah penafsiran judex factie
terhadap pasal perundang-undangan sudah tepat atau tidak. Jika putusan mahkamah
Agung tersebut berulang-ulang dari beberpa kasus yang substansinya sama maka putusan Mahkamah Agung
tersebut merupakan yurisprudensi.
Walaupun lembaga peradilan di Indonesia tidak terikat yurisprudensi
akan tetapi peradilan tingkat judex factie akan senantiasa memperhatikan
putusan-putusan Mahkamah Agung yang sudah menjadi yurisprudensi, sebab walaupun
bagaimana putusan pengadilan judex factie ketika diajukan kasasi oleh
para pihak dan didapati oleh Mahkamah Agung putusan tersebut bertentangan
dengan yurisprudensi Mahkamah Agung maka putusan pengadilan judex faktie
akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sehingga secara diam-diam lembaga
peradilan di Indonesia terikat dengan yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam
memutus perkara. Menurut Apeldoorn pengikatan hakim peradilan dinegara yang
menganut civil law bukan karena lembaga peradilan tersebut terikat
dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi, melainkan yurisprudensi tersebut
merupakan kebiasaan yang berlaku umum, dan kebiasaan yang berlaku umum tersebut
dalam teori hukum merupakan sumber hukum.[19]
Sebagai perbandingan, hakim pengadilan tingkat pertama dan banding
di Belanda walaupun menganut civil law dalam memutus perkara tidak melulu
melihat peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum bahkan mereka lebih
intens mempelajari putusan-putusan Mahkamah Agung yang dinamakan Arrest
sebagai sumber hukum. Hakim di Indonesia pun sudah menjadi kewajiban untuk
menekuni mempelajari putusan-putusan Mahkamah Agung sebagai yurisprudensi
disamping peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai sumber hukum dalam
menyelasaikan perkara, baik yurisprudensi mengenai hukum formil maupun hukum
materil.
Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam hukum Islam yang dapat
dijadikan dasar hukum oleh hakim peradilan agama diantaranya perceraian dapat
diajukan oleh pihak suami atau istri karena alasan cekcok terus menerus yang
sulit untuk dirukunkan kembali walaupun yang menimbulkan percekcokkan rumah
tangga tersebut adalah pihak penggugat. Dalam bidang kewarisan anak angkat dan ahli waris berbeda agama
keduanya mendapat bagian minimal sama dengan ahli waris lain atau paling banyak
sepertiga bagian sebagai wasiat wajibah. Anak perempuan mewaris seluruh harta
warisan dan menghalangi keluarga dalam garis horisontal (saudara pewaris
dan/dan atau keturunannya) dan keluarga garis diagonal (paman dan/atau
keturunannya) sehingga tidak berhak mewaris. Yurisprudensi Mahkamah Agung
lainnya menghapus kerabat dzawil arham dan menyamakan saudara sekandung,
saudara seayah, dan saudara seibu yang dalam fiqih konvensional ketiga golongan
saudara tersebut kedudukkannya dibedakan satu sama lain sebagai ahli waris.
Yurisprudensi mahkamah Agung dibidang hukum lainnya baik hukum
materil maupun hukum formil dapat dipelajari dalam buku-buku himpunan
yurisprudensi Mahkah Agung yang setiap tahun diterbitkan dan dikirimkan
keseluruh pengadilan dari empat lingkungan peradilan. Persoalannya adakah kemauan
para hakim untuk mempelajari yurisprudensi mahkamah Agung tersebut, semuanya
terpulang kepada para hakim yang budiman.
Makassar, 03 September 2012
Husnul Ma’arif Calon Hakim Pengadilan Agama Makassar
[1]
Pasal 1 ayat (1) Udang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[2]
Pasal 23 . Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
[3]
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of
Law itu, Bandung, Alumni, 1982, h.95-96.
[4]
Ps.49 UU.No.7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU.No.3 Tahun 2006 dan UU No.
50 Tahun 2009.
[5]
Encyclopedia Americana, Danbury Connectitut, Glorier, 1995,
vol.7, h.394.
[6]
Lihat Muslim, Shahih Muslim, 1999:703-707; Nasai, Sunan
Nasai, 1977:529, 521-552; Abu Daud, Sunan Abu Daud, Sunan Abu
Daud, 1999:531-532; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1977:280;
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, 2004:2005; Ibnu
Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 2004:743; Imam Malik, al-Muwattha,
2003:362; Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:1366.
[7]
Lihat Lihat Ibnu Hibban, Sahîh Ibnu Hibbân, Libanon, 2004,
h.1516; Abu Muhammad ‘Abd Allah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah
al-maqdisi al-Dimasyqi al-Hanbali, al-Mughni, 2004, vol.8, h.318;
[8]
Soerojo Wignyodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum adat,
Jakarta, haji Mas Agung, cet.VII, 1988, h.86.
[9]
Hasil penelitian Azyumardi Azra Qadhi-Qadhi yang diangkat oleh Raja-Raja Islam
di wilayah Indonesia bukun hanya memutus kasus-kasus perkawinan dan warisan
melainkan juga masalah kasus pidana, seperti Sultan Iskandar Tsani di
Kesultanan Aceh menghapuskan hukum pidana adat yang tidak sesuai dengan hukum
pidana Islam dan di kesultanan Banjar pada akhir Abad ke 18 mendirikan
Pengadilan Islam untuk menangani kasus-kasus sengketa perdata. Lihat Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII, Jakarta, Kencana, edisi refisi, cet II, 2005, H.225 dan 319.
[10]
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika
Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, cet.I, 1994, H.80-125.
[11]
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Bandung, Alumni, 2002, H.179-198; Lihat pula Soetandyo Wignjosoebroto,
1994:237-247 dan Jimly asshiddiqie, Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum
Fiqh dan Relevansinya bagi Usaha Pembaharuan KUHPidana Nasional,
Jakarta Angkasa, edisi II, 1996, h.188-217.
[12]
Soetandjo Wignjosoebroto,1994:245.
[13]
Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:245.
[14]
Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:244. Pendapat Soetandyo tersebut tidak
sepenuhnya benar karena banyak putusan-putusan hakim tidak hanya sekedar corong
undang-undang akan tetapi juga mempertibangkan sisi social justice, misalkan
putusan Mahkamah Agung dalam kasus waris Islam dimana anak perempuan mewaris
seluruh harta kekayaan orang tuanya mengesampingkan ahli waris saudara dengan
pertimbangan ditengah masyarakat Indonesia dianut kesadaran hukum dimana ahli
waris saudara tidak dapat mewaris jika pewaris mempunyai anak perempuan saja.
Sedangkan hukum waris Islam menetapkan anak perempuan tidak dapat
mengesampingkan ahli waris saudara. Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor
218K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.
[15]
Yang dimaksud analisa kontigensi adalah
metode untuk mengambil suatu kesimpulan didasarkan pada data yang mempunyai
karakter yang sama untuk dianalisa dan diambil kesimpulan sebagai gejala umum .
Sumber diambil dari vai-unisma-
malang.blogspot.com/2009 tanggal 16 juni 2009.
[16]
Yang dimaksud case Laws adalah yurisprudensi . Lihat Bryan A. Garner, Black’s
Law Dictionary, USA, West Group, 7th Edition, 1999, h. 207.
[18]
Mochtar Kusumaatmadja, 2002:199.
[19]
L.J. van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht, (terj.) Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu
Hukum, Jakarta, Pradnya
Paramita, 1975, 171-176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar