KRIMINALISASI HUKUM PERHIKAHAN
DINI
OLEH : HUSNUL MA’ARIF
Salah satu trend
reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi
hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak
memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk
negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan
mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal.
Dalam hal pernikahan di bawah umur misalnya, adalah menarik jika dapat ditelaah
lebih dekat, dengan melihat dampak akibat yang disebabkan, dikomparasikaan dengan
perselisihan antara agama dan Negara dalam memaknai pernikahan dini, serta di
tinjau berdasarkan keadaan psikologi usia yang dianggap sebagai pernikahan
dini.
Hukum Islam
secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa,
keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu
diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab
itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur
nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya
geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur, sementara dalam kaca mata agama
pernikahan dilakukan oleh orang yang sudah baligh.
Anak (ath-thifl) ialah manusia
yang belum memasuki kondisi baligh (dewasa). Ada empat tanda, bahwa seseorang
telah dianggap baligh;
Pertama: usia,
dan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Bagi
laki-laki berumur 15 tahun –menurut Syafi’iyyah dengan perbedaan dalam
menentukan 15 tahun, sebagian berpendapat sempurna 15 tahun, sebagian yang lain
berpendapat 14 tahun 6 bulan. Menurut Hanafiyah, untuk laki-laki ada dua
riwayat, 19 tahun dan 18 tahun. Untuk perempuan juga terdapat dua
riwayat, 18 tahun dan 17 tahun. Sedangkan Malikiyyah tidak mengakui usia
sebagai batasan baligh.
Kedua: Hulm
(keluar mani karena mimpi, senggama, atau lainnya)
setelah sempurna usia 9 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Ketiga: Haidl
(menstruasi) dan hamil. Haidl sebagai batasan baligh setelah
sempurna usia 9 tahun. Sedangkan hamil apabila umur kandungan 6 bulan lebih
dalam usia 9 tahun.
Keempat: Inbat (tumbuhnya rambut di
sekitar kemaluan). Dalam perspektif Islam inbat tidak dianggap sebagai
batasan baligh meskipun dalam budaya kalangan kafir hal itu dianggap sebagai
batasan baligh. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa inbat dianggap
juga sebagai batasan baligh.
Perbedaan pendapat di antara fuqahâ`, tentang batasan usia bâligh akan
menjadi rahmat, bila masing-masing pendapat diletakkan dan diterapkan pada
konteks yang sesuai, misalnya dalam konteks taklîf (beban-beban
kewajiban Agama), digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam
konteks pernikahan dan perlindungan anak digunakan pendapat yang mengatakan 18
atau 19 tahun.
Di Indonesia UU
yang mengatur masalah perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan
pada tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7
yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Dari ketentuan tersebut tampak
bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan batas minimal usia kawin
bagi mempelai laki-laki minimal 19 dan bagi mempelai wanita 16 tahun. Namun
ternyata ketentuan ini masih membuka ‘celah’ dimungkinkannya perkawinan dini
jika wali atau orang tua masing masing menghendaki dengan mengajukan dispensasi
ke pengadilan atau pejabat yang ditunjuk.
Ada dua faktor penyebab
terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari
luar anak.
1. Sebab dari Anak
a. Faktor Pendidikan
Peran pendidikan anak-anak
sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia
wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut
sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika
anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa
pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah
satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol
membuat kehamilan di luar nikah.
b. Faktor telah
melakukan hubungan biologis
Ada beberapa kasus,
diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis
layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan
cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini,
bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan
perasaan orang tua, hal ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari
akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu kesalahan yang
besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa
anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di
kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.
2. Sebab dari luar
Anak
a. Faktor Pemahaman
Agama
Ada sebagian dari
masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan
jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi
dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
b. Faktor ekonomi
Kita masih banyak menemui
kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan.
Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak
gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan
setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang
tua si anak.
c. Faktor adat dan
budaya.
Di beberapa belahan daerah
di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak
gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan
sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya
anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan
anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia
minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.
Resiko pernikahan dini
berkait erat dengan beberapa aspek, sebagai berikut:
1. Segi kesehatan
Dilihat dari segi
kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian
ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat
kesehatan ibu dan anak.
Menurut ilmu kesehatan,
bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35
tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering
mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan,
fisik maupun mental , kebutaan dan ketulian, selain itu juga mengakibatkan
kanker leher rahim karena pada usia remaja sel-sel leher rahim belum matang.
2. Segi fisik
Pasangan usia muda belum
mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk
mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor
ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam
kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh
berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada
orang tua harus dihindari.
3. Segi mental/jiwa
Pasangan usia muda belum
siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan
tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih
memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.
4. Segi pendidikan
Pendewasaan usia kawin ada
kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan
persiapan yang sempurna dalam mengarungi bahtera hidup.
5. Segi kependudukan
Perkawinan usia muda di
tinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang
tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.
6. Segi kelangsungan
rumah tangga
Perkawinan usia muda adalah
perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih
rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian.
Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur
:
1. Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di
negara kita yaitu:
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk :
1.
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
2.
menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya dan;
3.
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah
tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari
perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan
melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan
berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang
tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut
harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa
dan orang tua.
2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya
masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian
melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan
infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa
anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan
seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti
tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan
dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya
yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan
hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor
sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan
perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki
saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama
Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini
hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan
kekerasan terhadap perempuan.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu
prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan
istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan
seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini
bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya
pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak
diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara
ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi
contoh bagi yang lain.
Bercermin dari
4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum
Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum
terhadap pelanggaran masalah ini.
Di Bangladesh,
seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara
maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus.
Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di
bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2
tahun.
Di Pakistan, terhadap
pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat
dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya
sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang
menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah
umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua
atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau
tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau
lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap
pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan
(terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang
dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.
Dalam pada
itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua
pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang
bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18
(pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika
calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda
maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.
Bersandar pada
kaidah hukum bahwa “hukum berlaku menurut illatnya (factor-faktor penyebanya)
kata lain hukum harus mengikuti kualitas perkembangan keadaan masyarakat”, “menghentikan
timbulnya kehancuran harus di dahulukan daripada memperoleh kemaslahatan
(keuntungan sesaat)”. Pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua
harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam
usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk
melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat
mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan
Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan
penyelidikan dan penyidikan untuk melihat adanya pelanggaran terhadap
perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana
dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).
Penulis Cakim Pengadilan Agama Makassar.
Daftar pustaka :
- Drs. H. ahmad Kamil, SH., M.Hum. Drs. M.Fauzan, SH, Kaidah-kaidah hokum yurisprudensi, kencana, Jakarta, 2004
- The Marriage Law 1931-1937 Pasal 3.
- Child Marriage Testraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi No. 28/1984) Pasal 4.
- Child Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8 /1961) Pasal 4.
- Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49.
- Muhammad Zaki Saleh, Trend Kriminalisasi Dalam Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim.
- 19 tahun usia minimal bagi wali nikah? http://www.pokjahulu-kotabandung.com/
- Pembatasan usia kawin dalam perundang-undangan negeri-negeri muslim modern, http://alitrigiyatno.wordpress.com
- Pernikahan Dini Menurut Perspektif Agama Dan Negara, http://el.ibbien.comhttp://www.pesantrenvirtual.com
- Batas Usia Pernikahan Dalam Undang-Undang, http://kua-rancah.blogspot.com
- Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, http://mentoringku.wordpress.com,