Minggu, 09 September 2012

Kriminalisasi Hukum Pernikahan Dini


KRIMINALISASI HUKUM PERHIKAHAN DINI
OLEH : HUSNUL MA’ARIF

Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam  hal  pernikahan di bawah umur  misalnya, adalah menarik jika dapat ditelaah lebih dekat, dengan melihat dampak akibat yang disebabkan, dikomparasikaan dengan perselisihan antara agama dan Negara dalam memaknai pernikahan dini, serta di tinjau berdasarkan keadaan psikologi usia yang dianggap sebagai pernikahan dini.
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur, sementara dalam kaca mata agama pernikahan dilakukan oleh orang yang sudah baligh.
Anak (ath-thifl) ialah manusia yang belum memasuki kondisi baligh (dewasa). Ada empat tanda, bahwa seseorang telah dianggap baligh;
Pertama: usia, dan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki berumur 15 tahun –menurut Syafi’iyyah dengan perbedaan dalam menentukan 15 tahun, sebagian berpendapat sempurna 15 tahun, sebagian yang lain berpendapat 14 tahun 6 bulan. Menurut Hanafiyah, untuk laki-laki ada dua riwayat,  19 tahun dan 18 tahun. Untuk perempuan juga terdapat dua riwayat, 18 tahun dan 17 tahun. Sedangkan Malikiyyah tidak mengakui usia sebagai batasan baligh.
Kedua: Hulm (keluar mani karena mimpi, senggama, atau lainnya) setelah sempurna usia 9 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Ketiga: Haidl (menstruasi) dan hamil. Haidl sebagai batasan baligh setelah sempurna usia 9 tahun. Sedangkan hamil apabila umur kandungan 6 bulan lebih dalam usia 9 tahun.

Keempat: Inbat (tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan). Dalam perspektif Islam inbat tidak dianggap sebagai batasan baligh meskipun dalam budaya kalangan kafir hal itu dianggap sebagai batasan baligh. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa inbat dianggap juga sebagai batasan baligh.

Perbedaan pendapat di antara fuqahâ`, tentang batasan usia bâligh akan menjadi rahmat, bila masing-masing pendapat diletakkan dan diterapkan pada konteks yang sesuai, misalnya dalam konteks taklîf (beban-beban kewajiban Agama), digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam konteks pernikahan dan perlindungan anak digunakan pendapat yang mengatakan 18 atau 19 tahun.
Di Indonesia UU yang mengatur masalah perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7 yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Dari ketentuan tersebut tampak bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan batas minimal usia kawin bagi mempelai laki-laki minimal 19 dan bagi mempelai wanita 16 tahun. Namun ternyata ketentuan ini masih membuka ‘celah’ dimungkinkannya perkawinan dini jika wali atau orang tua masing masing menghendaki dengan mengajukan dispensasi ke pengadilan atau pejabat yang ditunjuk.
Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.
1. Sebab dari Anak
a. Faktor Pendidikan
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.
b. Faktor telah melakukan hubungan biologis
Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan perasaan orang tua, hal ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.

2. Sebab dari luar Anak
a. Faktor Pemahaman Agama
Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
b. Faktor ekonomi
Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.
c. Faktor adat dan budaya.
Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.

Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek, sebagai berikut:
1. Segi kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.
Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental , kebutaan dan ketulian, selain itu juga mengakibatkan kanker leher rahim karena pada usia remaja sel-sel leher rahim belum matang.
2. Segi fisik
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.
3. Segi mental/jiwa
Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.
4. Segi pendidikan
Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengarungi bahtera hidup.
5. Segi kependudukan
Perkawinan usia muda di tinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.
6. Segi kelangsungan rumah tangga
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian.

Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur :
1.  Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
1.       mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
2.       menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
3.       mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua.
2.  Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Bercermin dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut  secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah ini. 
Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus. Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun.
Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan  tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya  dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.
Bersandar pada kaidah hukum bahwa “hukum berlaku menurut illatnya (factor-faktor penyebanya) kata lain hukum harus mengikuti kualitas perkembangan keadaan masyarakat”, “menghentikan timbulnya kehancuran harus di dahulukan daripada memperoleh kemaslahatan (keuntungan sesaat)”. Pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihat adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).

Penulis Cakim Pengadilan Agama Makassar.

Daftar pustaka :
  1. Drs. H. ahmad Kamil, SH., M.Hum. Drs. M.Fauzan, SH, Kaidah-kaidah hokum yurisprudensi, kencana, Jakarta, 2004
  2. The Marriage Law 1931-1937  Pasal 3.
  3. Child Marriage Testraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi No. 28/1984) Pasal 4.
  4. Child Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8 /1961) Pasal 4.
  5. Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49.
  6. Muhammad Zaki Saleh, Trend Kriminalisasi Dalam Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim.
  7. 19 tahun usia minimal bagi wali nikah? http://www.pokjahulu-kotabandung.com/
  8. Pembatasan usia kawin dalam perundang-undangan negeri-negeri muslim modern, http://alitrigiyatno.wordpress.com
  9. Pernikahan Dini Menurut Perspektif Agama Dan Negara, http://el.ibbien.comhttp://www.pesantrenvirtual.com
  10. Batas Usia Pernikahan Dalam Undang-Undang, http://kua-rancah.blogspot.com
  11. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja,  http://mentoringku.wordpress.com,



Minggu, 02 September 2012

Polemik Ekonomi Syari'ah



Isyarat Eksistensi PA di mulai tahun 2006 yang dinilai paling revolusioner, dimana telah mendapat pengakuan dalam hal pelimpahan kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Ekonomi Syari’ah.
Keraguan orang terhadap kompetensi dan kapabilitas sumber daya hakim-hakim di Pengadilan Agama dalam memutus perkara Ekonomi Syari’ah, karena selama ini mereka hanya menyelesaikan perkara yang dapat dikatakan jauh dari Anasir “bisnis” dan “financial”.
Kewenangan PA dalam Ekonomi Syari’ah meliputi :
(penjelasan angka 37 pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 perubahan kedua atas UU No. 7/ 1989):
1.    Bank Syari’ah
2.    Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
3.    Asuransi Syari’ah
4.    Reasuransi Syari’ah
5.    Reksadana Syari’ah
6.    Obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah
7.    Sekuritas Syari’ah
8.    Pembiayaan Syari’ah
9.    Pegadaian Syari’ah
10.  Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah
11.  Bisnis Syari’ah
Diperjelas dalam pernyataan, angka 38 pasal 50 ayat 3 menyatakan:
1.   Kewenangan memutus sengketa mengenai sah tidaknya akad yang diperjanjikan oleh lembaga ekonomi syariah (misalnya perbankan) dengan nasabah;
2.   Kewenangan memutus sengketa mengenai hak milik dari barang atau aktiva yang dijadikan jaminan oleh salah satu pihak dalam perjanjian atau akad;
3.   Kewenangan memutus sengketa keperdataan lainnya dalam lapangan ekonomi syariah.
Patut diperhatikan di sini adalah kewenangan sebagaimana disebut pada angka tiga, yaitu “sengketa keperdataan lainnya”. Baik dalam pasal 49 maupun penjelasan pada angka 38 pasal 50 tersebut hanya menjelaskan secara eksplisit mengenai sengketa keperdataan lainnya yang menjadi kewenangan pengadilan agama. Meskipun dalam kutipan penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa sepanjang menyangkut subjek yang bersengketa sebagai domain atau kewenangan dalam pengadilan agama, maka pengadilan agama berwenang memutusnya tidak serta merta menjawab polemik mengenai bentuk sengketa seperti apa yang dimaksud.
Sebagai contoh misalnya, apakah pengadilan agama berwenang dalam memutus perkara eksekusi hak tanggungan maupun fidusia jika ternyata nasabah (debitur) tidak dapat melunasi kreditnya? Ketentuan mengenai hak tanggungan dan fidusia sepanjangan pengetahuan penulis merupakan domain dari pengadilan negeri. Apakah kemudian dapat kita tafsirkan secara lex specialis dalam perkara ekonomi syariah? Kalaupun iya hal ini masih menimbulkan sejumlah perdebatan, terutama mekanisme beracaranya, karena bagaimanapun, kita memahami bahwa meskipun hukum acara yang berlaku dalam pengadilan negeri berlaku pula dalam lingkungan peradilan agaman sepanjang diatur secara khusus, tidak serta merta dapat diterapkan sepenuhnya dalam perkara ekonomi syariah. Karena sekali lagi, ini adalah perkara yang khusus, berbeda dari perkara niaga pada umumnya, baik dalam tataran hukum materil maupun formilnya. 
Dari hasil diskusi dengan beberapa advokat penulis mengetahui bahwa perkara-perkara ekonomi syariah yang didaftar ke pengadilan negeri diplot dalam tajuk “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)” yang dalam pemahaman hukumnya, secara umum, merupakan domain dari pengadilan negeri. Konstruksi berpikir sebagian yuris mungkin demikian dan agaknya memang menjadi semacam “konsensus” bahwa meskipun lapangannya adalah ekonomi syariah, tetapi karena tajuk perkaranya “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)”, maka pengadilan negeri lah yang dipandang berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya. 
Konsensus sebagaimana dimaksud mungkin akan terus lestari hingga ada kejelasan, baik secara yuridis maupun sosiologis mengenai kewenangan pengadilan agama dalam sengketa keperdataan lainnya dalam lapangan ekonomi syariah. Bagi penulis, menafsirkan penjelasan angka 38 tersebut perlu dilakukan tidak hanya pada wilayah penafsiran tematik atau gramatikal semata, melainkan juga pada wilayah penafsiran teleologis.
“Sengketa keperdataan lainnya” dalam penjelasan tersebut dapat dipahami secara gramatikal. Kata “lainnya” berarti semua sengketa keperdataan selain sengketa hak milik dalam bidang ekonomi syariah, termasuk di dalamnya hak tanggungan, fidusia, wanprestasi, PMH, hingga pembatalan perjanjian menjadi domain peradilan agama. Bahwa karena ekonomi syariah merupakan subjek (domain) peradilan agama, maka sengketa-sengketa yang berkaitan di dalamnya menjadi subjek peradilan agama, di luar dari hal tersebut menjadi subjek dari peradilan umum.  
Jika diamati secara seksama, dapat kita ketahui bahwa redaksi “sengketa keperdataan lainnya” sebagai kewenangan peradilan agama dimaksudkan sebagai upaya penyederhanaan proses peradilan sekaligus upaya menciptakan efisiensi dan efektifitas proses beracara yang diproyeksi dalam terciptanya putusan yang benar-benar merujuk pada tiga tujuan utama hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Memang diakui bahwa tidak ada satupun undang-undang yang menyatakan bahwa peradilan agama berhak menyelesaikan sengketa hak milik maupun sengketa keperdataan lainnya, tetapi bila menafsirkan teks tersebut secara ekstensif, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa integrasi “sengketa keperdataan lainnya” merupakan jaminan sekaligus upaya menciptakan peradilan yang sederhana, cepat , dan biaya ringan.
Diskursus mengenai putusan pengadilan yang berkembang selama ini terutama juga menyoal tentang unifikasi (penyatuan, penyeragaman) putusan mengenai suatu perkara tertentu. Putusan pengadilan dalam perkara ekonomi syariah perlu diseragamkan untuk menghindari adanya disparitas putusan pada suatu perkara yang sejenis sekaligus menghindari ambiguitas, baik dalam pemahaman maupun pelaksanaan suatu putusan. Dapat dibayangkan, jika dalam suatu putusan pengadilan agama yang mengabulkan gugatan ekonomi syariah (misalnya perbankan) yang mengabulkan gugatan penggugat yang salah satu amarnya tergugat (debitur) diwajibkan melunasi kreditnya kepada bank dengan melelang aktiva yang dijaminkan, sementar dalam putusan lain (Pengadilan Negeri) mengenai sengketa hak milik, tergugat (debitur) dikalahkan oleh penggugat (pihak ketiga) dalam sengketa hak milik dimaksud. Jika demikian, maka akan sulit untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan agama tersebut. Inilah sesungguhnya jiwa dari ketentuan yang disebutkan sebelumnya.

Makassar, 03 September 2012
Husnul Maarif Calon Hakim Pengadilan Agama Makassar







Peran Yurisprudensi Dalan Pembangunan Hukum Nasional




         Pengadilan pada saat mengadili perkara yang dihadapi harus berlandaskan hukum dan keadilan.[1] Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mengawasi kesalahan  penerapan hukum dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara dalam memutus perkara melalui upaya hukum kasasi yang diajukan oleh para pihak.[2] Sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dapat bersumber dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bentuk hukum yang pertama adalah hukum berupa peraturan perundang-undangan sedangkan bentuk hukum kedua adalah hukum yang dianut oleh masyarakat yang lazim disebut dengan hukum adat.[3] Warga Negara Indonesia yang beragama Islam menganut sebagian hukum Islam khususnya hukum perkawinan, kewarisan, wakaf, shadaqah dan ekonomi Islam oleh karena itu walaupun hukum-hukum Islam tersebut belum diundangkan merupakan hukum jenis kedua yaitu hukum yang tidak tertulis.[4]
        Di Inggris yang menganut sitem common law, hakim pengadilan pada saat  memutus perkara yang dihadapi tidak merujuk undang-undang sebagai sumber hukum  untuk diterapkan. Putusan mereka didasarkan pada rasa keadilan dan sikap untuk berlaku adil  yang mereka miliki (sense of justice and fair dealing). Pada akhirnya putusan-putusan hakim yang terdahulu menjadi rujukan bagi hakim kemudian dalam menyelesaikan kasus-kasus  yang dihadapinya.  Jika substansi hukum yang dihadapi hakim belakangan sama dengan kasus-kasus yang sudah diputus sebelumnya maka hakim yang belakangan tersebut akan memutus kasus tersebut sama dengan kasus yang sebelumnya. Oleh karena itu hakim di negara yang menganut sistem common law berfungsi sebagai pencipta hukum (judge made law).  Akan tetapi tidak semua hukum berasal dari putusan hakim, Parlemen sebagai badan legislatif membuat hukum yang berlaku umum yang tidak berkaitan dengan kasus tertentu.  Parlemen membuat undang-undang yang belum dibentuk oleh pengadilan, akan tetapi kadang-kadang membuat undang-undang dengan menghapus  hukum yang diciptakan peradilan sebelumnya yang dianggap sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan (unjust). Lebih lanjut  Parlemen melakukan pengawasan terhadap putusan-putusan hakim melalui  lembaga banding yang ditangani oleh The House of Lords.[5]
         Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, Nabi Muhammad dan para sahabat yang menggantikannya  meninggalkan yusrisprudensi yang biasa disebut sunnah Nabi Muhammad dan sunnah Khulafâu al-Râsyidîn. Putusan Nabi Muhammad tentang wanita yang sudah tiga kali di talak oleh suaminya tidak berhak mendapat nafkah iddah.[6] Demikian halnya Sahabat Zaid bin Tsabit menetapkan waris kalalah jika pewaris meninggal dunia tidak meninggalkan anak dan keturunannya sertt ayah. Berbeda dengan pendapat Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas berpendapat waris kalalah adalah jika pewaris tidak meninggalkan anak dan keturunan saja sehingga saudara dapat mewaris bersama ayah.[7] Banyak lagi contoh-contoh yusrisprudensi Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang diikuti dan dibakukan sebagai norma hukum dalam kitab-kitab fikih.
Merupakan warisan sejarah, Hukum yang berlaku di Indonesia pada awal kemerdekaan terdiri dari hukum adat, Islam dan Barat. Hukum Adat merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia dan merupakan sumber hukum dalam penyelesain kasus-kasus yang timbul ditengah masyarakat adat melalui peradilan adat, yang menurut Van Vollenhoven pada garis besarnya terdapat 19 wilayah hukum adat tersebar di Indonesia.[8] Hukum Islam dianut oleh masyarakat Islam Indonesia sejak tumbuhnya kelompok masyarakat Islam di wilayah Nusantara. Selanjutnya hukum Islam mendapat legitimasi dari penguasa setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Nusantara.[9] Sedangkan hukum barat merupakan hukum yang ditransfer oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan diberlakukan di Indonesia. Hukum barat yang sangat monumental sampai saat ini adalah KUHPerdata dan KUHPidana, KUHDagang dan Hukum Acara Perdata (HIR dan RBG) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang masih dijadikan rujukan oleh lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif.[10]
Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun hukum nasional pasca kemerdekaan terus diupayakan oleh Pemerintah agar Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki hukum nasional yang satu yang sesuai dengan falsafah bangsa dan kehidupan modern. Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dalam pembaruan hukum nasional, menyarankan agar diupayakan unifikasi dan kodifikasi terbatas pada hukum yang tidak menjamah wilayah kehidupan budaya dan spiritual masyarakat. Disamping itu pembangunan hukum nasional diupayakan bermuatan asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum Adat, Islam dan Barat.[11]
Pembangunan hukum Nasional dapat dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutip berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, serta oleh pengadilan berupa putusan pengadilan. Pembangunan hukum melalui badan legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan upaya pembentukan hukum sebagai sarana perubahan sosial (law as a tool of social enginering), sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru[12] maupun oleh pemerintahan masa reformasi saat ini, karena lembaga eksekutif dalam rangka stabilisasi dan percepatan pembangunan membutuhkan kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembangunan hukum yang dilakukan oleh pengadilan merupakan upaya menggali kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat yang dituangkan dalam bentuk putusan. Pada umumnya putusan-putusan pengadilan yang mengangkat hukum yang berlaku ditengah masyarakat berkisar dalam ruang lingkup hukum perdata bukan ruang lingkup hukum publik.
Percepatan pembangunan hukum melalui legislasi lebih dinamis dibandingkan dengan produk hukum melalui litigasi (proses peradilan).[13] Menurut Soetandyo[14] kelambanan pengadilan dalam pembentukan hukum disebabkan dua faktor: Pertama, kemampuan  para hakim yang lemah untuk mengembangkan kedayagunaan hukum dalam masyarakat atas dasar kontigensi[15] yang kreatif; kedua, doktrin dan tradisi yang dianut badan-badan peradilan di Indonesia menciptakan hakim sebagai corong undang-undang yang terikat dengan penerapan pasal-pasal undang-undang dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapinya tanpa ada keinginan untuk mengembangkan kreativitas berpikir sosiologis; ketiga, pendidikan hukum di Indonesia sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa mencoba mendorong mahasiswa juga ke arah cara berfikir induktif dengan menganalisa kasus untuk mengembangkan case laws.[16]
Kritikan para ahli hukum terhadap putusan lembaga peradilan yang lebih mengedepankan aliran legisme perlu direspon oleh hakim dengan melakukan  perubahan cara pikir yang bersifat filosofis dan sosiologis atau sekarang lebih dikenal dengan hukum responsif.[17] Peraturan perundang-undangan sifatnya statis sering tertinggal dengan percepatan perubahan budaya masyarakat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karakter peraturan perundang-undangan yang demikian mengharuskan pengadilan untuk senantiasa  membuat putusan yang bermuatan legal justis, sosial justis dan moral justis (hukum responsif). Oleh karenannya putusan-putusan pengadilan harus didasarkan pada asas-asas hukum yang universal baik yang terkandung dalam hukum adat, hukum Islam maupun hukum barat. Hakim tidak boleh terpaku dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, oleh karenanya jika hakim menemukan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan asas-asas universal  hakim harus melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal undang-undang tersebut sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan universal. Demikian halnya hakim, dalam memutus perkara,  harus mampu menggali asas-asas hukum universal yang hidup ditengah masyarakat agar putusannya memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dalam hal ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja berkomentar, asas-asas hukum universal harus dimantapkan bukan saja dalam produk perundang-undangan akan tetapi juga dalam produk peradilan berupa putusan, khususnya putusan Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang dapat dijadikan rujukan pengadilan-pengadilan di bawahnya.[18] Putusan-putusan pengadilan produk hakim sebagai manusia biasa tidak bisa lepas dari ketidak sempurnaan, oleh karenannya merupakan suatu keniscayaan putusan tersebut terbuka untuk dikritisi oleh para ahli hukum agar kedepan putusan-putusan lembaga peradilan lebih bermuatan hukum yang berasaskan universal,  hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat modern  sekaligus merupakan upaya partisipasi aktif lembaga peradilan dalam pembangunan hukum Nasional.
Pembangunan hukum Nasional tersebut terus berlangsung baik melalui peraturan perundang-undang maupun melalui putusan lembaga peradilan. Pembangunan hukum melalui badan legislatif berlanjut sejak kemerdekaan RI taun 1945, bahkan pada tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ps. 7 ayat (1) dan (4) UU. No. 10/2004, menyebutkan jenis dan hierarki  peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang; c. Peraturan pemerintah; d. Peraturan presiden; e. Peraturan daerah; f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan lainnya dimaksud dalam huruf  (f) termuat dalam pasal 7 ayat (4) UU.No.10 tahun 2004, diantaranya adalah: a. Peraturan menteri (lihat Ps.5 ayat (4) PP.72/2005); b. Peraturan kepala daerah (lihat  Ps. 146 ayat UU.No.32/2004); c. Keputusan kepala daerah (lihat Ps. 146 ayat UU. No.32/2004); d. Peraturan Desa yang dibuat oleh Badan Permusyawarahan Desa (lihat Ps. 3 dan Ps. 35  PP.72/2005); Keputusan Kepala Desa (lihat Ps.26 PP. No.72/2005).
Sedangkan hukum yang tidak tertulis sebagaimana disebutkan diatas adalah hukum adat dan sebagian hukum Islam yang dianut oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu hakim peradilan di Indonesia dalam memutus perkara harus berdasarkan sumber hukum tertulis yakni peraturan perundang-undang yang berlaku, hukum adat, dan hukum Islam yang dianut warga negara Indonesia. Dalam hal, hakim memutus perkara yang sumber hukum tertulisnya sudah jelas (tidak multi tafsir) tidak menimbulkan problem yang rumit, hakim tinggal menerapkan pasal-pasal peraturan perundang-undang yang ada dan jelas tersebut. Akan tetapi ketika peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mengatur atau telah mengatur akan tetapi mengandung multi tafsir maka hakim harus menemukan hukum yang berlaku ditengah masyarakat dan melakukan pefsiran terhadap pasal-pasal  peraturan perundang-undangan yang tidak jelas. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi akan melakukan penilaian atas penemuan hukum dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh keempat lingkungan peradilan judex factie  apakah penemuan hukum yang diterapakan sudah tepat atau sebaliknya belum tepat, serta apakah penafsiran judex factie terhadap pasal perundang-undangan sudah tepat atau tidak. Jika putusan mahkamah Agung tersebut berulang-ulang dari beberpa kasus yang  substansinya sama maka putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan yurisprudensi.
Walaupun lembaga peradilan di Indonesia tidak terikat yurisprudensi akan tetapi peradilan tingkat judex factie akan senantiasa memperhatikan putusan-putusan Mahkamah Agung yang sudah menjadi yurisprudensi, sebab walaupun bagaimana putusan pengadilan judex factie ketika diajukan kasasi oleh para pihak dan didapati oleh Mahkamah Agung putusan tersebut bertentangan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung maka putusan pengadilan judex faktie akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sehingga secara diam-diam lembaga peradilan di Indonesia terikat dengan yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam memutus perkara. Menurut Apeldoorn pengikatan hakim peradilan dinegara yang menganut civil law bukan karena lembaga peradilan tersebut terikat dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi, melainkan yurisprudensi tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku umum, dan kebiasaan yang berlaku umum tersebut dalam teori hukum merupakan sumber hukum.[19]
Sebagai perbandingan, hakim pengadilan tingkat pertama dan banding di Belanda walaupun menganut civil law dalam memutus perkara tidak melulu melihat peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum bahkan mereka lebih intens mempelajari putusan-putusan Mahkamah Agung yang dinamakan Arrest sebagai sumber hukum. Hakim di Indonesia pun sudah menjadi kewajiban untuk menekuni mempelajari putusan-putusan Mahkamah Agung sebagai yurisprudensi disamping peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai sumber hukum dalam menyelasaikan perkara, baik yurisprudensi mengenai hukum formil maupun hukum materil.
Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam hukum Islam yang dapat dijadikan dasar hukum oleh hakim peradilan agama diantaranya perceraian dapat diajukan oleh pihak suami atau istri karena alasan cekcok terus menerus yang sulit untuk dirukunkan kembali walaupun yang menimbulkan percekcokkan rumah tangga tersebut adalah pihak penggugat. Dalam bidang kewarisan  anak angkat dan ahli waris berbeda agama keduanya mendapat bagian minimal sama dengan ahli waris lain atau paling banyak sepertiga bagian sebagai wasiat wajibah. Anak perempuan mewaris seluruh harta warisan dan menghalangi keluarga dalam garis horisontal (saudara pewaris dan/dan atau keturunannya) dan keluarga garis diagonal (paman dan/atau keturunannya) sehingga tidak berhak mewaris. Yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya menghapus kerabat dzawil arham dan menyamakan saudara sekandung, saudara seayah, dan saudara seibu yang dalam fiqih konvensional ketiga golongan saudara tersebut kedudukkannya dibedakan satu sama lain sebagai ahli waris.
Yurisprudensi mahkamah Agung dibidang hukum lainnya baik hukum materil maupun hukum formil dapat dipelajari dalam buku-buku himpunan yurisprudensi Mahkah Agung yang setiap tahun diterbitkan dan dikirimkan keseluruh pengadilan dari empat lingkungan peradilan. Persoalannya adakah kemauan para hakim untuk mempelajari yurisprudensi mahkamah Agung tersebut, semuanya terpulang kepada para hakim yang budiman.
Makassar, 03 September 2012
Husnul Ma’arif Calon Hakim Pengadilan Agama Makassar



[1] Pasal 1 ayat (1) Udang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

[2] Pasal 23 . Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.

[3] Sunaryati Hartono,  Apakah The Rule of Law itu, Bandung, Alumni, 1982, h.95-96.

[4] Ps.49 UU.No.7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU.No.3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.

[5] Encyclopedia Americana, Danbury Connectitut, Glorier, 1995, vol.7, h.394.

[6] Lihat Muslim, Shahih Muslim, 1999:703-707; Nasai, Sunan Nasai, 1977:529, 521-552; Abu Daud, Sunan Abu Daud, Sunan Abu Daud, 1999:531-532; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1977:280; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, 2004:2005; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 2004:743; Imam Malik, al-Muwattha, 2003:362; Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:1366.

[7] Lihat Lihat Ibnu Hibban, Sahîh Ibnu Hibbân, Libanon, 2004, h.1516; Abu Muhammad ‘Abd Allah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-maqdisi al-Dimasyqi al-Hanbali, al-Mughni, 2004, vol.8, h.318;

[8] Soerojo Wignyodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum adat, Jakarta, haji Mas Agung, cet.VII, 1988, h.86.

[9] Hasil penelitian Azyumardi Azra Qadhi-Qadhi yang diangkat oleh Raja-Raja Islam di wilayah Indonesia bukun hanya memutus kasus-kasus perkawinan dan warisan melainkan juga masalah kasus pidana, seperti Sultan Iskandar Tsani di Kesultanan Aceh menghapuskan hukum pidana adat yang tidak sesuai dengan hukum pidana Islam dan di kesultanan Banjar pada akhir Abad ke 18 mendirikan Pengadilan Islam untuk menangani kasus-kasus sengketa perdata. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta, Kencana, edisi refisi, cet II, 2005, H.225 dan 319.

[10] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet.I, 1994, H.80-125.

[11] Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, Alumni, 2002, H.179-198; Lihat pula Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:237-247 dan  Jimly asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya bagi Usaha Pembaharuan KUHPidana Nasional, Jakarta Angkasa, edisi II, 1996, h.188-217.

[12] Soetandjo Wignjosoebroto,1994:245.

[13] Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:245.

[14] Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, 1994:244. Pendapat Soetandyo tersebut tidak sepenuhnya benar karena banyak putusan-putusan hakim tidak hanya sekedar corong undang-undang akan tetapi juga mempertibangkan sisi social justice, misalkan putusan Mahkamah Agung dalam kasus waris Islam dimana anak perempuan mewaris seluruh harta kekayaan orang tuanya mengesampingkan ahli waris saudara dengan pertimbangan ditengah masyarakat Indonesia dianut kesadaran hukum dimana ahli waris saudara tidak dapat mewaris jika pewaris mempunyai anak perempuan saja. Sedangkan hukum waris Islam menetapkan anak perempuan tidak dapat mengesampingkan ahli waris saudara. Lihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 218K/AG/1993   tanggal 26-7-1996.

[15] Yang dimaksud analisa  kontigensi adalah metode untuk mengambil suatu kesimpulan didasarkan pada data yang mempunyai karakter yang sama untuk dianalisa dan diambil kesimpulan sebagai gejala umum . Sumber diambil dari  vai-unisma- malang.blogspot.com/2009 tanggal 16 juni 2009.

[16] Yang dimaksud case Laws adalah yurisprudensi . Lihat Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, USA, West Group, 7th Edition, 1999, h. 207.

[18] Mochtar Kusumaatmadja, 2002:199.

[19] L.J. van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht,  (terj.) Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu Hukum,  Jakarta, Pradnya Paramita, 1975, 171-176.