Selasa, 04 Maret 2014

Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti

TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI  
Oleh : Husnul Ma’arif
     Penerapan mengenai testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perdata menjadi debatable di kalangan akademisi maupun praktisi hukum antara kelompok yang menolak dan yang menerimanya. Mereka yang menolak kesaksian de auditu sebagai alat bukti merupakan aturan umum yang masih kuat dianut para praktisi hukum sampai sekarang dengan berdasarkan kepada Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari sumber pengetahuan tidak dapat diterima (inadmissable) sebagai alat bukti. 
         Sementara itu di luar dari kelompok arus utama tersebut, ada yang berpendapat membolehkan dengan membenarkan penerapan testimonium de auditu sebagai alat bukti. Subekti yang semula berpendapat testimonium de auditu tidak ada harganya sama sekali, namun kemudian membenarkan penerapan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti apabila mereka terdiri dari beberapa orang dan keterangan yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat untuk melengkapi keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formil dan materiil kesaksian sehingga memenuhi batas minimal pembuktian, atau keterangan saksi de auditu untuk menyusun persangkaan. Selain itu yang termasuk dalam kelompok yang menerima saksi de auditu ini adalah Yahya Harahap dengan pendapatnya yang sangat moderat menerima saksi de auditu sebagai alat bukti, bahkan mengkritik keras terhadap sikap para praktisi hokum yang secara otomatis menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti karena tanpa adanya analisis dan pertimbangan yang argumentative.
      Penerapan Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam Yurisprudensi Debatable di kalangan akademisi dan para praktisi hukum yang berbeda pendapat mengenai eksistensi testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam ranah perdata, namun satu hal yang perlu kembali harus diperhatikan bahwa tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sedangkan hakim dalam proses peradilan tidak boleh mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan perundang-undangan atau hakim bukan sekedar corong undang-undang.  
     Dapat kita telusuri dalam yurisprudensi Peradilan Indonesia bahwa dikalangan praktisi ada yang mempertimbangkan ulang dengan menerima testimonium de auditu sebagai alat bukti dengan beragam bentuk penerapannya. 
  • Testimonium de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang. Dalam Putusan itu Mahkamah Agung membenarkan testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hokum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang member keterangan harus orang yang menerima langsung pesan. Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi dimana orang yang menerapkan pesan di dalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan.
  • Testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dengan pertimbangan yang objektif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat pada putusan Mahkamah agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesungguhnya putusan ini tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti, namun untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden). 
  • Membenarkan testimonium de auditu sabagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi. Demikian Putusan Mahkamah Agung No. 818 K/Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984. Dalam putusan tersebut menyebutnya testimonium de auditu sebagai keterangan yang dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa. Dalam kasus ini saksi langsung ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de auditu, akan tetapi meskipun demikian ternyata dalam persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil pengetahuan yang langsung dari tergugat sendiri. Berdasar fakta tersebut Mahkamah Agung berpendapat keterangan mereka itu dapat dijadikan sebagai lat bukti yang menguatkan keterangan seorang saksi. 
         Oleh karena itu sesungguhnya terhadap keterangan saksi de auditu tidak otomatis harus ditolak sebagai alat bukti. Sikap yang tepat dan lebih moderat adalah dengan menerima terlebih dahulu, baru kemudian dipertimbangkan dengan menganalisis apakah ada dasar eksepsional untuk menerimanya dengan pertimbangan yang sangat objektif dan rasional, sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de auditu tersebut. Kalau memang dalam suatu keadaan/kondisional serta ada dasar eksepsional dengan kualitas pembuktian yang sudah teruji dan terukur, kenapa harus menyingkirkannya. Disinilah diperlukan kecermatan dan kecerdasan bagi hakim dalam menilai sebuah pembuktian (saksi) untuk memberikan putusan yang berkeadilan.  
     Dalam proses peradilan hakim tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan meskipun hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi hukum acara. Karena hukum itu sendiri setidaknya harus mencakup tiga nilai identitas, yaitu keadilan hukm (gerectigheid), kemanfaatan hokum (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechmatigheid). Sehingga kerangka berpikir menganalisis fakta hokum dengan mengedepankan aspek filosofis dan sosiologis ketimbang aspek yuridis formalnya terkadang menjadi sebuah pilihan lain bagi seorang hakim. 
Daftar Pustaka 
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 1997.
Abdul Manan, Penerapan hokum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006.
Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.